Friday, December 31, 2004

Catatan perjalanan liburan summer 2003/2004: Sydney 26 Desember 2003 – 2 Januari 2004 (1)

Tak terasa hari ini akhir dari tahun 2004. Tahun ini kemungkinan besar kami akan merayakan Akhir Tahun Baru 2004 di Thuringowa, twin city dari kota Townsville. Liburan kali ini memang kami nggak kemana-mana, wong fokus utama ngepak barang buat pindah. Kurang dari 3 minggu lagi kami akan meninggalkan Australia. Alhasil anak-anak yang terbaisa jalan-jalan saat liburan sekolah, rada-rada manyun. Apalagi mengingat tahun lalu kita merayakan Tahun Baru di Sydney.

Mengingat musibah tsunami di Asia Selatan, dari berita di TV kini ada pro dan kontra atas perayaan Tahun Baru di Sydney tahun ini. Menurut pengelola perayaan, karena acara ini sudah dirancang dari 10 tahun yang lalu dan uang telah digunakan, perayaan Tahun Baru tetap diadakan dengan tambahan 1 menit renungan. Walaupun pesta kembang api akan tetap meriah, secara psikologis mungkin tidak terlalu nyaman untuk beberapa orang. Yang pasti, setelah berhari-hari melihat gambar-gambar para korban tsunami (terutama dari TVRI Indonesia yang gambar-gambarnya wooowww .... sereeemmm), saya sendiri mulai dilanda mimpi buruk.

Untuk sedikit „mengaburkan“ derita Aceh, lebih baik cerita saja tentang pengalaman liburan Tahun Baru 2004 di Sydney. Cerita ini sudah pernah ditulis di email, tapi siapa tahu ada yang mau baca lagi, kan ditambah sama foto ..he..he...


Sydney Selayang Pandang

Sibuk. Macet. Ramai. Mahal. Mungkin empat kata ini bisa merangkum Sydney. Kota terbesar ke-2 di Australia setelah Melbourne sekilas mengingatkan pada Jakarta yang juga sibuk, macet dan ramai. Untuk urusan mahal, tampaknya Jakarta jauh lebih murah dibandingkan Sydney, apalagi kalau harga-harganya menggunakan rupiah. Mahal disini bukan untuk barang-barangnya (di Jakarta juga banyak barang-barang mewah yang mahal) tapi untuk jasa pelayanan seperti transportasi, makan, parkir dan tempat rekreasi.

Tiba di Sydney menjelang malam dari Ballina (perbatasan Queensland sekitar 780 km dari Sydney) dan hanya berbekalkan peta kota tidak detil, bisa dibayangkan „panik“nya kami mencari apartemen di Eastlakes yang sudah dipesan sebelumnya. Dari peta, kami lihat bahwa Eastlakes terletak dekat Airport, sehingga kami memutuskan untuk mengikuti highway yang bertandakan gambar pesawat. Tidak lama kemudian kami memasuki pusat kota Sydney. Disini kebingungan melanda karena highway bercabang-cabang. Entah bagaimana akhirnya kami memasuki terowongan di bawah Harbour Bridge yang merupakan jalan tol menuju airport. Toh tiba pula kami di ujung terowongan dan berhenti di suatu jalan di dekat Airport. Untungnya, kami memiliki nomor telepon Rahmat, mahasiswa S3 dari Bandung yang ditugasi menjaga apartemen yang akan kami sewa. Dengan bantuan Rahmat yang kemudian menjumpai kami di suatu tempat, kami bisa tiba dengan selamat.

Pusat kota besar selalu merupakan tempat penyasaran bagi pengendara mobil dari luar kota. Tahun lalu kami juga habis-habisan berputar-putar di pusat kota Brisbane mencari jalan keluar maupun masuk. Hal yang sama terjadi lagi di Sydney, hanya saja urusan putar-putar di Sydney lebih bikin senewen karena jalanan lebih ramai dan panjang. Apalagi di Sydney susah cari tempat berhenti untuk melihat peta karena kebanyakan tempat bertulisan No standing (artinya bukan dilarang berdiri, tapi dilarang berhenti) atau sekalian tempat parkir bermeter. Tak heran kebanyakan orang selalu mengatakan, lebih baik naik kendaraan umum di Sydney daripada naik kendaraan pribadi. Hal terakhir ini yang lalu kami lakukan. Meninggalkan mobil di penginapan dan naik kendaraan umum saat jalan-jalan ke pusat kota. Hal ini lebih praktis karena bukan saja menghindar jalanan yang macet, tapi juga disebabkan mahalnya parkir. Kalau cuma 2.20 sejam sih masih mending, tapi di pusat kota bisa sampai 10 AUD per jam. Bahkan ketika kami di Manly, parkir sejam 12 AUD! Itupun tak dapat tempat karena penuh.

Melancong dengan anak, jelas perlu fleksibilitas tinggi. Jangan terlalu berharap dalam satu hari bisa melihat banyak tempat kecuali mau keluar tenaga menggendong anak atau menutup mata melihat anak loyo. Untuk pelancong bertenaga kuat (dan umumnya tidak ‘menenteng’ anak) yang punya waktu terbatas di Sydney dan ingin melihat sebanyak mungkin, bisa beli tiket Sydney Explorer seharga AUD 30 (dewasa) dimana kita bisa naik semua bis, kereta, dan ferry keliling-keliling Sydney selama satu hari penuh. Atau bisa juga beli Sydney pass untuk 3, 5 atau 7 hari. Harganya lumayan mahal. Jadi kalau sudah yakin bahwa tiket ini tidak akan digunakan maksimal, seperti kami yang bawa anak dan umumnya dalam satu hari hanya mampu melihat satu tempat, lebih baik beli tiket lepasan atau tiket satu hari saja (DayTripper). Atau bisa juga berlaku seperti orang lokal, beli tiket langsung sebanyak 10 buah (TenPass) yang bisa dipakai kapan saja. Untuk tiket model ini, harganya disesuaikan sesuai jarak. Tiket untuk jarak pendek harganya lebih murah daripada tiket jarak jauh.

Berlibur di musim puncak liburan di Sydney lumayan menyengsarakan. Tempat-tempat rekreasi penuh, rasanya persis seperti ke tempat rekreasi di Indonesia saat lebaran atau setelah lebaran. Sesak dan antri!

Pusat Kota

Tempat paling populer dan merupakan ikon Sydney adalah Opera House, Circular Quai, Harbour bridge dan the Rocks. Untuk yang pertama, belum ke Sydney rasanya kalau tidak ada foto mejeng di depan Opera House. Circular Quai sendiri merupakan terminal besar yang terbuka, tempat bis, kereta dan ferry berpusat. Harbour Bridge merupakan jembatan penghubung kota Sydney bagian utara dengan bagian barat/timur. Kalau punya uang dan nyali cukup, pelancong bisa juga ikut tour naik atap jembatan ini. Hampir semua selebritis dunia kalau ke Sydney menyempatkan naik ke atap jembatan ini. Sementara the Rocks merupakan tempat pertama pembangunan kota Sydney. Bangunan-bangunan kuno di tempat ini masih berdiri, tetapi fungsinya sudah berubah, jadi tempat belanja atau pub. Pusat kota Sydney adalah campuran antara gedung tua dan modern. Diantara gedung modern yang menjulang tiba-tiba saja ditengahnya menyempil gereja tua atau gedung kuno lainnya.




Untungnya tempat-tempat ini semuanya ada dalam satu ‘kompleks’. Cukup dengan naik bis menuju City dan berhenti di Circular Quai dimana semuanya bis bermuara, lalu tinggal jalan saja entah ke arah Opera House atau ke arah sebaliknya, the Rocks. Disini banyak artis jalanan yang manggung, termasuk juga copet dan penipu. Ketika kami datang ada seorang nenek yang menghampiri kami dan minta uang untuk menelfon rumah. Ternyata, setelah diberi dia tidak menelfon tapi menghampiri orang lain untuk meminta hal yang sama. Wah .. dikira hanya di Jakarta saja ada model orang beginian. Di sini juga ada lho tukang bersih kaca mobil di persimpangan lampu merah .... jadi kangen Jakarta nih!

Salah satu tempat di pusat kota yang jadi tujuan pelancong adalah Darling Harbour. Di sekitar kompleks ini kita bisa mengunjungi beberapa tempat seperti Maritime Museum, Sydney Aquarium dan China Garden. Akhir tahun 2003 kami menghabiskan waktu sepanjang hari di kawasan ini. Di tengah kawasan banyak atraksi. Anak-anak puas sekali naik perahu di danau kecilnya, naik dinding panjat, atau hanya melihat-lihat keramaian. Untuk memudahkan kami membeli tiket family pass kereta api Monorail dimana dengan tiket ini kami bisa berhenti dan naik monorail di setiap stasiun sepanjang hari. Monorail berhenti di berbagai stasiun dekat pusat kunjungan yang sudah saya sebutkan sebelumnya ditambah dengan beberapa tempat lainnya seperti China Town, Sydney Tower dan Paddy Market. Sayangnya paddy market yang terkenal ini hanya ada mulai hari Kamis sampai Minggu sehingga kami tidak sempat untuk berkunjung ke sini.




Tahun Baru di Sydney

Menikmati malam tahun baru di Sydney bisa jadi salah satu dambaan banyak orang. Betapa tidak, setiap tahun bila kita melihat tayangan kembang api tahun baru di layar kaca maka Sydney dengan harbour bridge dan opera housenya akan menjadi perwakilan Australia. Tak heran, menjelang tahun baru bisa dibilang puncak kunjungan turis ke Sydney. Sydney padat penuh sesak oleh pendatang.

Puncak perayaan tahun baru di Sydney dipusatkan di beberapa tempat, terutama yang berhadapan dengan Harbour Bridge. Tempat-tempat di sekitar the Rocks dan Opera Sydney House, Botanical Garden merupakan tempat favorit pengunjung. Selain itu di tempat lain seperti di Darling Harbour juga diadakan kembang api yang terpisah. Dari sini kita masih bisa juga menikmati kembang api Harbour Bridge walaupun agak terhalang dengan gedung-gedung tinggi.

Diperkirakan lebih dari ½ juta penonton datang untuk menikmati kembang api akhir tahun 2003 yang lalu. Oleh karena itu dari jauh-jauh hari pemda Sydney sudah memberikan pengumuman agar orang-orang menaiki kendaraan umum ke tempat perayaan. Konon untuk dapat tempat yang agak bagus, orang sudah datang dari siang hari.

Malam tahun baru tampaknya juga waktu dimana orang-orang mabok. Tahun ini untuk mengurangi masalah alcohol, pemda melarang pengunjung di lokasi-lokasi utama untuk membawa alcohol dan gelas. Walaupun pemeriksaan dilakukan di pintu masuk, tetap saja minuman keras bisa lolos karena banyak yang “pintar” membawa minuman dalam botol plastik air mineral. Selain itu beberapa restoran di sekitar lokasi utama juga menjual alcohol.

Di Sydney sendiri kembang api dilakukan 2 kali, yaitu jam 9 dan 12 malam. Kembang api pertama ditujukan untuk keluarga yang umumnya membawa anak kecil dan setelah itu kembali ke rumah. Kembang api utama umumnya lebih panjang dan spektakular dan masih banyak juga keluarga dengan anak kecil bertahan untuk menonton. Seperti juga yang dilakukan oleh kami.

Sayang sekali kami tidak bisa menikmati kembang api puncak dengan baik. Lima belas menit sebelum akhir tahun datang 2 orang perempuan bule dengan seorang teman lelaki. Sudah kelihatan sekali bahwa mereka mabok. Mereka lalu mulai membuat ulah dengan menggeser-geser, mendorong dan menggencet anak kami. Tentunya kami tidak terima dan ketika kami protes dia mulai memaki-maki dengan kalimat kasar. Intinya mereka tidak suka orang asing dan merasa lebih berhak untuk tinggal di posisi kami. Tidak pelak lagi, kami berbalas „pantun“ saling mengomel. Salah satu perempuan ini sangat kasar sekali dan dasar ngaco tiba-tiba keluar ucapan memuji bahwa anak saya cantik dan tampan namun tidak patut menjadi anak saya. „They deserved to be an Australian not like you!“ omelnya kacau balau. Woow ......, langsung tambah ngomel saya ... memangnya siapa yang minat jadi orang Australia. Tiba-tiba saya berpikiran jangan-jangan kalimat yang hampir sama digunakan oleh para “penculik” anak Aborigin untuk membenarkan tindakan mereka. Dulu anak-anak Aborigin diambil dari keluarganya untuk dididik agar sesuai dengan kriteria orang kulit putih Australia.

Untungnya tidak semua orang kulit putih Australia bertindak seperti mereka. Melihat saya dan keluarga terganggu kemudian ada seorang bapak yang membantu. Dia menegur para perusuh dan bahkan kemudian memanggil polisi. Ternyata kehadiran polisi masih manjur untuk membungkam mereka. Entah karena takut kami diganggu lagi atau sekalian memantau situasi, setelah menegur para perusuh, 3 orang polisi masih menunggu sampai akhir kembang api. Setelah kembang api usai, sang Bapak (bule) penolong kami kemudian mendekati kami untuk mengucapkan selamat tahun baru dan menenangkan kami bahwa tidak semua orang Australia idiot seperti para perusuh. Apapun, tahun baru ini benar-benar menjadi pelajaran terutama bagi anak kami yang tertua yang menjelang remaja betapa bahayanya efek alkohol. Selain itu .. ini juga pengalaman pertama saya habis-habisan memaki-maki bule ..he..he....

Hari terakhir di Sydney dihabiskan dengan bersantai di kediaman teman lama, pasangan Betty Penturi dan Toar Dotulong. Setelah bergadang di tahun baru, rasanya malas untuk khusus pergi ke tempat rekreasi. Apalagi malamnya kami sudah harus mengepak barang karena esok pagi akan meninggalkan Sydney menuju Canberra. Sydney dengan segala macam keruwetannya menorehkan berbagai kesan bagi keluarga.

Thursday, December 30, 2004

Cowboy Australia (3): Romantisme tembang country si cowboy

Seperti juga romantisme wild wild west di Amerika yang dikenal lewat tembang lagu countrynya dan film hollywood, romantisme para jackaroo berkembang dari cerita-cerita yang mengisahkan kehidupan mereka. Salah satu cerita terkenal disini adalah The man from Snowy River, yang lokasinya ada di New South Wales. Di salah satu tempat pemberhentian di perjalanan, saya lupa tempatnya dimana tapi yang pasti di antara pedalaman New South Wales dan Victoria, kami makan di sebuah cafe. Di depan cafe itu ada gundukan tanah yang diberi pusara the man from snowy river. Tentunya bukan kuburan beneran.

Tembang country di Australiapun berkembang tak kalah seperti di Amerika Serikat. Dalam perjalanan pulang dari New South Wales ke Queenslands liburan bulan Januari 2004 yang lalu kami memutuskan untuk melewati jalur alternatif New England Highway yang melewati kota-kota kecil di pedalaman. Kami berencana untuk mengunjungi Tamworth yang dikenal sebagai Ibu Kota Musik Country-nya Australia. Sebenarnya kami bukan penggemar berat country musik. Satu-satunya pemusik country Australia yang kami tahu cuma almarhum Slim Dusty (nama aslinya David Gordon Kirkpatrick), itupun gara-gara lagunya dipasang terus menerus di radio dan obituarynya disiarkan di TV berulang kali saat beliau meninggal bulan september 2003 yang lalu. Slim dusty memang ikon pemusik balada Australia dan cerminan true blue-nya orang Australia. Pemakamannya dilakukan secara kenegaraan. Bicara Slim dusty pasti akan terkait dengan Tamworth. Sepanjang karirnya dia dianugerahi 36 Penghargaan Gitar Emas di Tamworth. Penasaran seperti apa Tamworth saat festival, dari jauh-jauh hari kami merancang untuk khusus melewati Tamworth.

Tamworth boleh jadi Mekahnya musik country Australia, mungkin hampir sama dengan Nashville di Amrik sono. Setiap bulan Januari berbondong-bondong para pemusik country Australia mengikuti festival musik country selama 10 hari dengan kulminasi penyerahan Golden Guitar Award kepada pemusik country terpopuler. Berhubung supir sudah capai dan hari sudah malam, selain kami juga kuatir tidak ada kapling di Tamworth karena bertepatan dengan festival musik country, akhirnya kami menginap di suatu tempat sekitar 150 km dari Tamworth. Saya lupa namanya apa, tapi kotanya memang kecil sekali dan sepi. Ini juga satu-satunya lokasi berkemah termurah yang kami temui selama satu bulan keliling, hanya 14 AUD semalam untuk satu keluarga!

Pengunjung yang melewati Tamworth dipastikan tidak akan menyasar. Sebuah patung Gitar Raksasa menghiasi sisi jalan memasuki kota ini. Di dekat patung Gitar Raksasa ini juga terdapat Museum Lilin yang mengabadikan para pemusik country terkenal dan toko souvenir. Jangan lupa untuk minimal membeli pin guitar emas sebagai kenang-kenangan.

Untuk para penggemar musik country di Indonesia, kalau ke Australia jangan lewatkan untuk mengunjungi Tamworth di bulan Januari. Walaupun kami hanya berhenti di Tamworth selama ½ hari, suasana festival sangat kental terasa. Saat kami datang, Tamworth benar-benar ramai. Tempat penginapan tumpah ruah, tempat-tempat berkemah penuh sesak dengan tenda dan caravan beraneka rupa. Suasananya benar-benar seperti jamboree. Semalam sebelumnya hujan lebat mengguyur daerah Tamworth dan sekitarnya (termasuk kota tempat kami menginap). Tak pelak, banjir dimana-mana. Selama 3 tahun baru pertama kali ini melihat banjir di Australia. Untung juga tidak menginap di Tamworth. Soalnya orang-orang yang bertenda banyak yang hijrah karena tempat kemahnya kebanjiran.

Apa yang bisa dikerjakan selama melewati Tamworth? Kalau datang saat festival dan ingin melihat musik country gratisan, pusat kotalah tempatnya. Selama festival jalanan sepanjang pusat kota ditutup dan dipenuhi oleh berbagai pemusik jalanan. Masuk pertokoan juga ada pemusik di dalamnya. Bahkan di cafe dan pub juga pasti ada saja yang pertunjukan. Mau menikmati musik country dengan harmonika yang menyanyat, dentingan banyo yang riang ditimpahi dengan biola, nada sendu cowboy yang menanti cinta (ceile), balada blues, semuanya ada. Penyanyinya beragam mulai dari pemusik pemula, anak kecil, kakek-kakek sampai pemain semi profesional dan pro yang menjajakan CD mereka, bernyanyi dengan jarak antar penyanyi kurang dari 5 meter. Peel Street tempat para pengamen jalanan ini dikenal dengan nama Boulevard of Dreams karena banyak penyanyi country music profesional karirnya menanjak setelah ditemukan para produser atau pencari bakat di tempat ini. Berbagai “warung” makanan dan minuman komplit disini. Sayang euy makanan a la bule, fish and chips, hamburger dan lainnya membosankan. Selain itu ada para penari line-dance, itu lho tarian cowboy yang mengandalkan kecekatan dan hentakan kaki. Pada akhir festival biasanya diadakan line-dance terpanjang di dunia yang masuk ke dalam Guinnes Book of Record. Selama festival ini tidak kurang dari 2500 pertunjukan diadakan di 100 tempat berbeda dengan jumlah pengunjung sekitar 40.000 orang. Festival ini sendiri sudah diadakan sejak tahun 1960an.

Indra pendengar dan penglihatan benar-benar dimanjakan disini. Para pengunjung umumnya menggunakan pakaian a la western alias denim, denim, denim ditambah kemeja kotak-kotak, topi cowboy Akubra, ikat pinggang dengan gesper lebar dan sepatu boot. Pokoknya western habis deh. Tapi namanya di Australia, ada juga sih yang cuma pakai singlet, celana pendek dan sendal jepit. Yang pasti ada satu hal berbeda yang kami rasakan saat berkunjung ke sini. Hampir tidak ada pengunjung bertampang Asia di Tamworth. Beda saat kami mengunjungi pusat-pusat turis di kota-kota besar seperti Sydney, Melbourne dan Brisbane dimana tampang Asia (umumnya turis Jepang) kadang-kadang mendominasi. Toh kami tidak merasa terganggu dan menikmati kesempatan langka melihat berbagai karakter orang Australia: mulai dari cowboy, petani, orang kota, pengamen, orang-orang Koori, dengan berbagai jenis slang khas Australia-nya lalu lalang di festival yang mengasyikan ini.

Wednesday, December 29, 2004

Cowboy Australia (2): Rodeo, olahraga para cowboy

Mungkin inilah olahraga yang berkembang dari gaya hidup sehari-hari suatu profesi. Bagi para cowboy, berkuda adalah suatu keharusan. Kuda yang anggun menjadi status simbol bagi pengendara yang mampu mengendalikan hewan ini. Di jaman pionir dulu, seringkali kuda yang digunakan belum dilatih sepenuhnya. Tak heran orang yang mampu melatih serta mengendalikan kuda liar ini dianggap sebagai jawara oleh rekan sejawatnya. Kemampuan mengendalikan kuda sambil berlomba menghela sapi dalam kondisi berat dan keras inilah yang dipertandingkan di rodeo. Atraksi menarik kontes ketahanan antara manusia dan hewan membuat rodeo berkembang diantara para cowboy dan juga menarik perhatian orang awam.


Jackaroo dan Jillaroo mempersiapkan kuda mereka. Charters Tower Rodeo Mei 2004  Posted by Hello
Persis seperti olahraga profesional lainnya, misalkan tenis, golf, dan lainnya, olahraga ini juga punya kompetisi rutin.Kompetisi Rodeo di Australia ditangani oleh asosiasi khusus dengan hadiah uang yang lumayan menggiurkan. Kalau dulu rodeo hanya untuk hiburan para cowboy, kini orang-orang yang mengikuti kompetisi rodeo sudah profesional. Bahkan ada sekolah khusus untuk yang minat jadi pemain rodeo dari kecil. Tak heran di setiap kompetisi pasti ada kategori khusus untuk junior. Rasanya miris juga melihat anak-anak kecil umur 6-7 tahun sudah jatuh bangun naik kuda.

Nonton rodeo dipastikan seru. Ada beberapa jenis acara yang dilombakan diantaranya bull riding (bertahan di atas sapi jantan), roping (melasso sapi sambil mengendarai kuda) baik individu maupun tim, barrel racing (lomba cepat mengendara kuda dimana di setiap lap pengendara harus mengitari tong), saddle bronc riding dan bare back riding (bertahan di atas kuda jantan), dan steer wrestling (melumpuhkan sapi dengan cara melompat dari kuda dan memelintir sapi yang lari sehingga si sapi berhenti). Sekali-kali aksi ini ditingkahi oleh badut-badut rodeo yang berfungsi untuk mencairkan suasana. Rodeo di akhir tahun biasanya diakhiri dengan kembang api yang meriah. Tahun baru 2003 kami habiskan dengan menonton rodeo sekeluarga di Blackwater.

Dukacita Indonesia, dukacita dunia

Lagi-lagi musibah datang menghantam Indonesia. Belum hilang dari ingatan musibah gemba di Alor dan Nabire, hari Minggu 26 Desember 2004 gempa kembali mengguncang Indonesia. Kali ini Aceh luluh lantak, bukan saja oleh gempa di dalam laut yang konon berkuatan 9.0 skala Richter tapi juga oleh tsunami akibat goncangan dashyat itu. Bukan saja Aceh yang terkena, tapi negara-negara di Asia Selatan (India, Sri Lanka, Malaysia, Maladewa, Thailand dan Myanmar) bahkan dampaknya sampai ke Afrika. Pada saat dukacita ini saya tulis sudah 27 ribu rakyat Aceh meninggal. Semoga arwah mereka di terima di sisi Allah SWT. Semoga keluarga yang ditinggalkan bisa selamat, tabah dan bertahan dalam kondisi yang serba sulit seperti ini.

Sunday, December 26, 2004

BERBURU KATAK DI NEGERI KANGURU

Natalan kali ini nggak ada cerita khusus, kecuali kenyang diundang makan dimana-mana. Jadi kali ini saya tulis saja pengalaman cari katak jaman baheula waktu awal datang di Townsville (foto menyusul). Berhubung penelitian saya mengenai katak, sebelum mulai penelitian saya belajar metode penelitian sambil nyambi bantuin teman yang sedang melakukan penelitian mengenai katak. Buat yang penasaran ingin tahu penelitian saya lihat saja link ini http://www.jcu.edu.au/school/tbiol/zoology/herp/current/mikiabst.shtml

Are you sure that this is part of your transect?“, tanya Katryn dan saya sambil berharap-harap cemas bahwa Doug akan menjawab tidak. Betapa tidak cemas, sore itu kami sudah berjalan menyusur sungai sekitar 2 jam, dengan badan yang rasanya biru lebam karena tergelincir di bebatuan licin sambil menenteng GPS mencari titik penelitian Doug, kemudian wham.... di depan kami terpampang air terjun setinggi 12 m. Dalam kondisi lelah seperti ini, saya dan Katryn sudah tidak membayangkan akan punya cukup energi untuk memanjat sisi air terjun, yang walaupun bentuknya bertangga-tangga tapi tentunya tetap tidak mudah untuk dipanjat.

Sure!”, jawab Doug mantap sambil menatap angka koordinat yang tertera dalam GPS. Kontan Katryn dan saya terdiam lemas, sementara Doug , calon doktor muda yang pada saat cerita ini masih berusia 21 tahun, dengan lincahnya berjalan ke muka. Gile bener, pada umur sekian saya sudah cukup bahagia bisa lulus S1. Tiga tahun kemudian, tahun 2004 ini, doi sudah jadi doktor!

Saat itu sudah hari ke-3 kami menyusuri sungai-sungai di Tablelands, Cairns dalam rangka membantu penelitian Doug, postgraduate student asal Amerika, yang dalam penelitiannya mencoba mencari jawaban penyebab langkanya kodok-kodok di sungai dalam hutan yang masih asli. Kebetulan, saya sendiri akan melakukan penelitian mengenai kodok. Jadi saya ikut volunteer menjadi asisten sekaligus belajar metode penelitian. Selain saya, volunter lain adalah Katryn, doktor baru geology asal New Zealand. Bisa dikatakan ini tim internasional.

Daerah Cairns tempat kami berada saat itu merupakan bagian dari Queensland Utara dan merupakan satu-satunya ekosistem hutan tropika basah di Australia. Sebagian besar dari hutan ini telah berubah menjadi padang penggembalaan sapi dan perkebunan namun sebagian besar yang tersisa dan ada di kawasan Tablelands kini dilindungi dalam kawasan taman nasional. Daerah ini sendiri bisa dibilang sebagai dataran tinggi untuk ukuran Australia yang datar, dengan ketinggian lebih dari 400 m dari permukaan laut. Dibandingkan dengan Townsville, tempat kami tinggal, jelas Tablelands lebih sejuk. Saat itu, sekitar bulan Mei 2001 mendekati musim dingin, suhu udara siang hari berkisar 15oC.

Perjalanan dari Townsville-Tablelands, kami tempuh dengan mobil selama sekitar 5 jam. Berhubung ada dua kegiatan di dua tempat berbeda yang dilakukan selama 5 hari, kami langsung menuju tempat penelitian pertama. Pada hari pertama, kami merencanakan untuk menetapkan transek dan mencari kecebong. Kemudian malamnya mencari kodok. Sebagai informasi, kodok biasanya aktif malam hari. Jadi malambiasanya dipakai untuk cari katak dan sianguntuk mencari kecebong.

Berbeda dengan di Indonesia dimana kalau akses ke hutan biasanya harus ditempuh dengan berjalan kaki berjam-jam, maka disini bisa dibilang akses jalan mobil (walaupun jalan kecil) ada sampai pinggir hutan. Cukup menguntungkan untuk penelitian ini. Pada hari pertama itu, kami langsung ke lokasi penelitian sebelum ke camp. Sialnya, Doug rupanya lupa jalan masuk ke sungai itu. Dia rupanya tidak percaya dengan peralatan GPSnya yang mengatakan bahwa titik kami masuk itu sekitar 1,5 km dari titik penelitian. Alhasil kami harus berjalan sekitar 1,5 jam untuk bertemu sungai yang ternyata sungai yang salah. Akhirnya kami kembali dan memutuskan untuk mencoba menyusuri jalan mobil di sisi hutan. Ternyata, tak lama kemudian kami ketemu titik yang benar ... 36 m dari lokasi penelitian! Keruan saja Katryn dan saya ngomel-ngomel ke Doug. Bayangkan, kami baru tiba dari perjalan jauh kemudian harus langsung masuk menerobos hutan yang benar-benar seperti hutan di Indonesia, dalam arti kata penuh tanaman rambat berduri dan pacet, sambil kedinginan dan ternyata lokasinya salah! Yang mengesalkan, begitu sampai camp saya baru sadar bahwa ada 4 pacet yang dengan heboh menggigit kaki dan paha saya. Gila, seumur-umur masuk hutan di Indonesia saya belum pernah kena pacet, eh ... malah kena pertama kali di Australia!

Berhubung saya dan Katryn merasa tidak memiliki tenaga seheboh Doug, kami membantu mencari kodok bergiliran dua malam sekali. Pencarian kodok 2 hari pertama di lokasi awal hampir tidak ada masalah. Yang menjadi masalah saat kami pindah ke Frenchman Creek. Tempat ini luar biasa indahnya. Sungai arus deras, batu-batu besar, ada kolam-kolam air jernih dengan dasar yang berpasir, air terjun bertingkat ... benar-benar picture perfect! Tapi alamak ..... indah untuk dilihat namun mengerikan untuk dijalani! Siang hari saja saat mencari kecebong, sudah tak terhitung berapa kali saya tercebur. Begitu lihat air terjun dan si Doug udah manjat batu di pinggir, Katryn dan saya langsung mandeg nggak mau maju. Tapi melihat kegigihan calon doktor yang masih muda itu, akhirnya kita ikut juga. Ternyata memang justru di kolam-kolam di antara batu-batu sisi-sisi air terjun itu kita ketemu banyak kecebong.

Baru malam ke-2 saya ikutan nyari kodok lagi di Frenchman Creek. Malam pertama disana giliran Katryn yang ikut dan mereka tidak kembali sampai jam 5.30 pagi. Biasanya kalau kita berangkat jam 9.00 malam, sekitar jam 2.00 pagi sudah kembali. Keruan saja saya deg-degan. Ternyata, saking banyaknya kodok yang harus diukur mereka kerja sampai pagi. Untung saya belum sempet nelfon 000 (emergency).

Bisa dibayangkan malam selanjutnya saat saya ikutan nyari kodok. Ternyata malam kemarin, Katryn ngadat tidak mau naik ke air terjun, “I am going to die if I have to climb that thing”, sungutnya pagi-pagi. Jadi lah malam ini saya yang kebagian manjat air terjun. Sialnya, ada satu saat dimana kita kehilangan arah sehingga berputar kembali ke tempat semula (soalnya tu sungai banyak cabangnya). Waduh, sempet takut juga apalagi kalau diingat waktu itu malam Jum'at yang hari Jum'atnya tanggal 13. Pokoknya saya udah full doa deh .. walaupun saya pikir penunggu hutan Australia barangkali beda sama penunggu hutan melayu ye...

Untung lah (mungkin berkat doa saya ..he..he..) kita akhirnya menemukan arah sungai yang benar. Tapi malam itu saya bener-bener namanya full doa sepanjang malam. Masak iya, saya jauh-jauh sekolah doktor cuma buat nyungsep di kali Australia ...he...he... Yang menyebalkan, sekitar jam 2 malam mata rasanya sudah susah untuk dibuka. Sementara kodok banyak bener yang "muncul", entah yang ada di daun, di batu, setengah mati deh nangkepin dan kudu ngukur. Terakhirnya saya rada bandel juga. Biar kata ada kodok di depan muka ... cuekin aja. Ada satu saat saya harusnya mencatat malah tertidur sampai kemudian terdengar samar-samar suara Doug “ Miki .. wake up .. there is a frog near there. Catch it!” Aduh, rasanya ingin bilang „hei kodok .. menghilang sebentar saja!“. Rupanya kekecutan saya terlihat juga, karena beberapa hari kemudian Doug bilang bahwa saat saya dibangunkan untuk menangkap kodok tatapan saya mematikan “ … you gave me the dirtiest look…!”

Hari sudah menjelang fajar ketika kami kembali ke camp. Pagi itu juga kami akan kembali ke Townsville. Sementara saya dan Doug tertidur lelap di mobil, Katryn, yang sudah istirahat satu malam penuh, dipercaya untuk menyetir mobil universitas kami. Di perjalanan saya bermimpi melihat kembali keajaiban hutan tropis di malam hari. Berjalan malam melihat sisi lain dari hutan yang mungkin tidak terlihat siang hari. Bagaimana kami melihat burung raja udang yang sedang tidur di dahan. Kelebat warna bulu biru cerah dan hijau serta paruh merah melintas saat burung yang terganggu itu pindah ke tempat yang lebih nyaman. Kelebat platypus dan ikan di air. Kupu-kupu, jangkrik berduri dan kelabang bertanduk. Ular yang bergelantungan dengan nyaman di pohon. Ah, betapa cantiknya!

Thursday, December 23, 2004

JADI MATURE STUDENT DI NEGERI KANGURU

Kemarin kita-kita para mahasiswa AusAID yang tugas belajarnya selesai, atau mendekati selesai, kumpul-kumpul dengan Liasion Officer, keluarga, supervisor dan teman-temin dekat dalam acara Completion Gathering. Ceritanya kita dikasih sertifikat dan dapat kesempatan ngeceng dengan graduation gown. Biarpun disertasi belum selesai tapi karena akhir Februari 2005 jatah tinggal di Australia sudah selesai, jadi kebagian deh saya berfoto-ria pakai jubah „kebesaran“ lulusan PhD dengan supervisorku yang urakan dan keluarga.



Tidak terasa hampir 4 tahun saya jadi mahasiswa di Australia. Di Australia, orang-orang yang menjadi mahasiswa kembali setelah meninggalkan bangku sekolah dan bekerja (usia lebih dari 25 tahun) disebut sebagai mature student. Umumnya mature student ini sudah berkeluarga dan dan sekolah kembali untuk perbaikan karir. Mereka bisa saja ikut pelajaran strata-1 lagi tapi kebanyakan menjadi post-grad atau mahasiswa S-2 atau S-3. Dibawah ini sedikit cerita pengalaman jadi mahasiswa mature penerima beasiswa.

Suasana ilmiah kental dengan penampilan urakan. Waktu pertama kali bertemu dengan supervisor saya, astaga naga ... kaget deh lihat penampilannya! Celana pendek, bajo kaos, sepatu sendal, rambut acak-acakan ... waduh .. tukang kebun di kantor dulu di Indonesia aja nggak segitu butut penampilannya. Tapi jangan salah, ini profesor kaliber dunia. Tulisan ilmiahnya di terbitkan oleh berbagai jurnal internasional dan proyek penelitiannya dibiayai oleh berbagai lembaga bergengsi di dunia. So, penampilan di Queensland ini nggak begitu penting. Di kampus saya, James Cook University, suasana ilmiah kental terasa. Banyak seminar-seminar diadakan di kampus ini. Kebanyakan, untuk ukuran Indonesia, suasananya sangat informal. Sudah biasa deh orang kasih presentasi atau menghadiri seminar pakai celana pendek. Di Indonesia, bisa-bisa dipelototin habis deh .... ukuran orang „pintar“ di kita kan masih yang kudu pakai jas dan dasi! Padahal, kalo dipikir-pikir, negeri kita puanas begitu kok ya pakai jas.

Sekolah lanjutan itu pengorbanan. Sebagai mature student yang sudah berkeluarga, sekolah itu penuh dengan pengorbanan. Bukan saja meninggalkan pekerjaan di tanah air, tapi juga seringkali harus meninggalkan keluarga dekat, ataupun kalau keluarga dibawa kudu harus punya tenggang rasa. Bawa keluarga lebih banyak manfaatnya untuk anak tapi tidak untuk pasangan. Biasanya yang paling susah kalau yang sekolah itu sang istri. Suami yang biasa sibuk di Indonesia kontan harus belajar alih fungsi jadi bapak rumah tangga. Alhadulillah deh, punya suami yang penuh pengertian. Soalnya kalau sudah dead-line bikin tulisan, boro-boro masak, ngurusin nganterin anak ke sekolah atau mikirin beresin rumah ….. mandi aja lupa! Belum lagi kalau penelitian lapang atau ikut seminar di luar kota harus ninggalin keluarga berhari-hari … wah .. kalau nggak punya pasangan yang ngertiin, nggak bakalan jalan deh urusan sekolah.

PIL & WIL. Ini dia yang paling dikhawatirkan kalau sekolah ke LN. Pasangan yang berpisah saat sekolah di luar negeri kemudian terlibat perselingkuhan dan cerai itu sudah cerita umum. Mulai dari yang kepincut supervisor sampai pasangannya datang ke kota tersebut untuk melabrak, atau yang digosipkan karena teman lain jenis datang dari kota lain kemudian menginap satu kamar di tempat kost atau yang konon menikah dibawah tangan padahal salah satunya punya istri di tanah air (konon lho). Toh kebersamaan juga bukan jaminan. Salah seorang kenalan saya yang suami dan istri sama-sama bersekolah di universitas sama, toh cerai juga.

Cari uang vs cari ilmu. Bukan rahasia lagi bahwa banyak mahasiswa postgraduate Indonesia - yang mungkin lebih dari 70% adalah penyandang beasiswa dan kebanyakan adalah kiriman dari instansi pemerintah – getol bekerja saat dikirim sekolah. Segala macam pekerjaan disabet. Mulai dari kirim koran dan junk mail, mengantar pizza, jadi tukang bersih-besih, menunggu toko, babu cuci di restoran, cuci mobil dan banyak lagi. Kadang-kadang bisa juga kerja yang lebih baik, misalnya jadi tutor di universitas tempat belajar.

Walaupun banyak yang berkilah bahwa pekerjaan ini untuk mencari pengalaman, tapi umumnya motivasi utama para pekerja ini biasanya cuma satu: UANG. Kilah kurang duit ini memang memacu semangat para mahasiswa untuk habis-habisan kerja walaupun siangnya sudah sibuk di uni. Sayangnya, seringkali kegiatan cari duit ini lebih heboh daripada kegiatan belajarnya sendiri. Para mahasiswa yang habis-habisan bekerja seringkali akhirnya melupakan tujuan utama datang ke Australia, belajar. Motivasinya bukan sekedar untuk nambah dana selama di Australia dan beli tiket pulang untuk keluarga (beasiswa dari ADS memberikan tunjngan keluarga tapi tidak memberikan tiket untuk keluarga) tapi untuk bawa dollar saat pulang ke Indonesia. Tahu saja, begitu pulang ke Indonesia duit kembali minim. Apalagi untuk beberapa instansi, misalnya departemen pendidikan, saat pulang cuma dapat separuh gaji pokok sampai 6 bulan setelah kembali. Kalau tidak punya tabungan mau makan apa begitu tiba di tanah air?

Akibat terlalu getol kerja, bisa jadi akhirnya nilai terlantar. Atau untuk para mahasiswa riset, risetnya mungkin selesai, tapi kegiatan tulis menulis kacau balau. Tak heran, seringkali terdengar cerita ada mahasiwa yang tidak beres menulis tesis dan akhirnya pulang tanpa seminar atau memasukkan tesis. Gatel rasanya mendengar orang berkilah „Saya kan dapat tugas belajar, bukan tugas dapat gelar“. Sayangnya orang tersebut lupa, tugas belajarnya pun tidak dikerjakan karena lebih banyak ngurusin tugas ngumpulin uang!

Jalan-jalan atau tidak?. Beberapa kenalan saya hanya tahu daerah di sekitar dia tinggal, supermarket, tempat kerja (kalau nyambi) dan universitas. Buat saya, sayang sekali kalau sudah dapat kesempatan ke luar negeri kemudian tidak dimanfaatkan untuk jalan-jalan. Bisa dibilang, keluarga kami memang termasuk getol jalan selama di Australia. Walaupun tidak sempat melihat salju (maklum tinggal di queensland utara yang tropis) tapi paling tidak kami sudah melihat kota-kota tujuan wisata seperti Brisbane, Sydney, Canberra, Melbourne; merasakan berkemah, masuk hutan, naik kapal untuk whale watching, masuk gua, lihat penguin, dan macam-macam lagi. Soalnya, kalau sudah pulang nanti tidak ada jaminan bisa kembali ke Australia dengan keluarga khusus untuk jalan-jalan. Kalaupun saya yang datang paling lah untuk seminar atau kegiatan ilmiah lainnya tanpa bisa membawa keluarga.

Acara jalan-jalan ini bukan saja untuk rekreasi tapi juga untuk belajar. Banyak sekali yang bisa ditarik dari pengalaman jalan-jalan ini. Misalnya, bagaimana Australia menata kota mereka, bagaimana turisme bisa berkembang dengan baik disana, bagaimana mereka menata lingkungannya sampai bagaimana budaya mereka, bisa dilihat dari jalan-jalan. Untuk para mahasiswa yang nantinya jadi birokrat terutama di pemerintahan, jalan-jalan lah dan bawa pengalaman itu untuk memperbaiki daerah mereka. Jangan nantinya menghamburkan uang rakyat untuk studi banding sembari antar istri (atau suami) belanja!

Kampung Indonesia. Gesekan-gesekan kecil dan besar merupakan dinamika sosial yang lumrah. Apalagi walaupun konon sama-sama orang Indonesia tapi latar belakang etnik dan agama bisa berbeda. Mahasiswa yang dulu biasa tinggal di kota besar, dimana mengutamakan privacy, menjadi gagap saat harus berinteraksi dengan orang lain dari kota kecil yang mungkin lebih komunal. Orang dari pulau Jawa jadi kikuk bicara dengan orang-orang dari bagian timur Indonesia terutama yang daerahnya jadi ajang perang etnis dan menyalahkan orang Jawa. Orang yang di daerahnya jadi bos seringkali susah meninggalkan kebanggaan pekerjaannya sehingga kalau berinteraksi masih bergaya bos juga padahal di luar negeri sama-sama jadi mahasiswa kere.

Waktu pertama kali datang, gagap juga berinteraksi dengan para mahasiswa yang sudah ada sebelumnya. Masalahnya waktu itu ada kubu-kubu agama dan etnik, warisan dari keributan Ambon, dimana satu sama lain bermusuhan dan menjelekkan satu kelompok lain. Baru disini saya mengerti kenapa Indonesia susah banget rukun. Lho orang-orang yang katanya intelektual kiriman dari pemerintah Indonesia sendiri malah ribut satu sama lain saat di luar negeri. Untungnya perlahan-lahan ada perbaikan juga dimana kelompok-kelompok mulai berinteraksi seiring dengan perbaikan kondisi di Indonesia dan usaha keras beberapa orang untuk melakukan komunikasi lintas kelompok. Walaupun demikian kuping sering merah juga mendengar satu dua ibu yang suka bisik-bisik (tapi keras) di pertemuan rutin bulanan untuk tidak makan masakan si A atau B karena dia agamanya lain!


Tuesday, December 21, 2004

SEMINAR


Kemarin siang teman seangkatan di JCU, mbak Dani (Prabawardani Sarawasti) melakukan PhD exit seminar. Tak terasa euy, sebentar lagi giliran saya yang akan menjalankan exit seminar. Saat berada di Indonesia, seminar merupakan campuran antara momok dan kebosanan. Seminar menjadi momok saat saya harus memberikan presentasi, anehnya bukan karena saya harus menjelaskan apa isi presentasi, tapi lebih karena pada saat itu saya harus memberikan lebih banyak perhatian kepada penampilan. Baju diusahakan serasi (sedapat mungkin baju model three-piece buat perempuan, kemeja lengan panjang dengan dasi plus jas bila mampu buat lelaki), penampilan harus menunjukkan profesionalitas sebagai dosen, dan sebagainya. Lebih parah lagi kalau seminar diadakan sebagai bagian dari kegiatan akademik, misalnya presentasi hasil penelitian untuk program master. Bukan saja penampilan harus wah, saya juga harus berpusing-pusing ria memikirkan makanan apa yang harus dibawa supaya peserta seminar tidak merasa kecewa.

Di lain sisi, seminar jadi hal yang membosankan kalau saya menjadi peserta biasa. Setiap seminar terutama yang menggunakan judul “ Seminar Nasional” seringkali memaksa pejabat memberikan pengarahan atau keynote yang seringkali bertele-tele, isi seminar seringkali tidak ada hal yang baru, dan seminar sekali lagi seringkali memaksakan untuk membuat „resolusi“di akhir sesi yang berisi rekomendasi kosong. Sebagai bagian dari insan akademik, baik sebagai dosen maupun waktu menjadi mahasiswa S2 di kampus yang sama, seringkali saya mengharapkan di kampus ada seminar-seminar kecil non formal yang berbobot. Sayangnya selain pengumuman seminar wajib bagi mahasiswa, papan pengumuman di kampus lebih banyak berisi ajakan kegiatan beragama daripada kegiatan ilmiah.

Tak heran waktu saya tiba di kampus James Cook University tempat saya sekarang belajar, saya takjub bukan kepalang melihat program seminar mereka. Di kampus ini seminar diadakan baik oleh staf pengajar maupun oleh mahasiswa pasca sarjana. Setiap awal semester setiap school (disini mungkin setara dengan jurusan) akan mengeluarkan jadwal seminar yang akan diadakan setiap minggunya. Pemberi seminar bukan saja oleh staf JCU tapi juga oleh peneliti tamu dari berbagai universitas di berbagai negara yang memang mempunyai keahlian di bidangnya masing-masing.

Di luar seminar ini, masih ada seminar wajib untuk mahasiwa pasca sarjana yang sudah menyelesaikan penelitiannya. Selain itu, mahasiswa pasca-sarjana di setiap school umumnya membentuk komunitas diskusi sendiri dan setiap minggu mengadakan diskusi atau presentasi mengenai satu topik. Kadang-kadang diskusi dilakukan untuk membahas artikel terbaru dari satu jurnal, atau presentasi mengenai hasil penelitian atau perjalanan seseorang. Kemudian, kegiatan akademik ini masih ditambah lagi dengan pertemuan rutin staf dan mahasiswa pasca-sarjana pada satu lab yang umumnya membahas kemajuan penelitian anggota lab.

Karena umumnya mahasiswa pasca sarjana disini, terutama yang mengambil S-3, tidak mengambil kelas melainkan murni melakukan penelitian melulu, pertemuan-pertemuan seperti ini menjadi ajang yang paling baik untuk belajar. Seminar ini juga menjadi ajang komunikasi antar staf peneliti karena setiap staf peneliti diharapkan dapat memberi informasi terkini penelitian yang dilakukan mereka. Tidak seperti di Indonesia, seringkali antar rekan satu jurusan tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh rekannya sendiri.

Pengumuman seminar biasanya diedarkan melalui e-mail atau ditempel di papan pengumuman. Kita dapat memilih untuk mengikuti topik seminar yang menarik atau yang berhubungan dengan penelitian dan masuk ke ruang seminar yang dituju. Kalau seminar di kampus dirasakan belum cukup, seringkali lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah seperti AIMS dan CSIRO memberikan pengumuman mengenai seminar yang akan diadakan di tempat mereka.

Suasana seminar di sini umumnya terkesan sangat informal buat orang Indonesia. Penampilan tidak menjadi perhatian utama, orang-orang di Queensland Utara terkenal sebagai orang paling berpenampilan santai di Australia. Jadi boro-boro dandan, pemberi seminar seringkali menggunakan celana pendek dan kaos oblong ditambah sandal jepit. Soal makanan, jarang sekali seminar memberi makan. Kadang-kadang ada pertemuan yang menyediakan biskuit dan minuman teh dan kopi. Tentunya yang disediakan cuma teh celup dan kopi instant yang harus diseduh sendiri.

Bagaimana dengan seminar formal? Selama disini, saya berkesempatan ikut seminar baik di Australia maupun di negara lain. Kesannya, padat dan berisi. Seperti juga seminar disini, pembukaan diawali dengan keynote speaker yang alhamdulilah isinya nyambung dan tidak bertele-tele. Keynote speaker tidak dibawakan oleh pejabat tapi oleh rektor universitas yang menjadi tuan rumah atau oleh figur peneliti kawakan. Walaupun pembawa presentasi tidak seurakan pembawa seminar di kampus saya, toh buat orang Indonesia penampilan luar mereka sangat bersahaja. Yang pasti kesahajaan di luar ini bertolak belakang dengan dengan isi presentasi mereka. Apa yang dikemukan umumnya merupakan hasil penelitian mutakhir dan belum dipublikasikan di jurnal. Oleh karena itu biasanya banyak „agen-agen“ jurnal terkenal yang berkeliaran di seminar internasional untuk mendekati pembawa makalah yang memiliki potensi untuk menulis di jurnal mereka.

Lain halnya dengan seminar di Indonesia yang biasanya direpotkan dengan sertifikat, seminar disini tidak pernah memberikan sertifikat. Pernah seorang teman, yang mungkin mengharapkan keikutsertaannya sebagai peserta seminar bisa dipakai untuk menambah cum saat pulang nanti, meminta sertifikat. Dengan terheran-heran, akhirnya panitia membuat certificate of attendance khusus buat sang teman.

Kapankah perguruan tinggi kita bisa menggiatkan kegiatan seminar akademik seperti ini? Tidak usah membuat seminar yang besar dan menghabiskan dana mahal, cukup membuat seminar atau diskusi nonformal setiap minggu yang bisa dihadiri oleh siapa saja. Teknologi email bisa digunakan untuk menyebarluaskan undangan. Alangkah baiknya bila kegiatan diskusi ilmiah bisa dilakukan sesering mungkin dan melibatkan banyak orang. Siapa tahu dari forum ilmiah yang tidak boros ini nantinya akan menghasilkan lebih banyak lagi penelitian yang bermutu.

Sunday, December 19, 2004

MANGGA

Mulai bulan Oktober sampai akhir Desember merupakan musim mangga di Queensland utara. Pada musim ini sudah jamak terlihat pohon-pohon mangga di perumahan yang sarat dengan buahnya. Bahkan di pinggir jalan pun banyak pohon mangga. Di dekat rumah saya ada pedestrian path di sisi sungai Ross River. Pedestrian path ini sengaja dibangun untuk kegiatan olahraga atau rekreasi lainnya dan menghubungi satu park dengan park lainnya. Ada satu tempat yang pintu masuknya berasal dari jalan yang bernama Mango Avenue. Bisa ditebak, sepanjang jalan ini isinya pohon mangga. Berhubung tidak ada yang empunya, kalau musim mangga jalan-jalan pagi di sekitar daerah ini agak menyebalkan, soalnya banyak sampah mangga yang jatuh berserakan di jalan, sebagian besar dimakan kelelawar.


Mangga berserakan di Paluma Posted by Hello
Beda dengan Indonesia yang punya berbagai jenis mangga, mangga disini hanya satu type. Jadi kalau ke pasar mangganya ya itu-itu saja, tidak seperti di kita yang ada mangga golek, mangga arjuna (kenapa nama mangga kita pakai nama wayang ya?), mangga arum manis, dan lain-lain. Tapi mangga disini besar-besar, konon aslinya datang dari India.

Saat tiba di Australia dulu tidak pernah terbayang bahwa ada tempat di Australia yang merupakan sentra mangga,. Saya kira mangga cuma eksklusif ada di Asia saja. Ternyata setelah tiba disini baru tahu kalau Australia merupakan eksportir mangga yang cukup besar terutama ke Jepang. Sentra mangga di Queensland Utara adalah daerah sekitar Giru dan Bowen. Kalau melintasi daerah ini melalui Bruce Highway, pemandangan di sepanjang jalan ya kebun mangga dengan pohon yang berderet-deret rapi. Saking bangganya dengan produk mereka, Bowen bahkan memasang patung buah mangga besar di kotanya (The Big Mango).

Pada awal musim harga satu buah mangga sekitar 2 - 3 dollar. Pertama kali lihat harga mangga disini, rada melotot juga … masak mangga satu biji harganya lebih dari 10 ribu perak. Tapi mangga disini saking gedenya beratnya bisa mendekati satu kilo per buah. Kalau sedang banjir mangga, beli mangga di pasar kaget mingguan lebih murah. Hanya dengan $10 bisa dapat 1 box berisi 7 – 10 buah, tergantung ukuran. Kalau bener-bener ngebet tapi kantong cekak, ya sudah ….. jalan saja ke Mango Avenue dan ngunduh mangga sendiri. Hobi suami saya kalau jemput saya di Uni adalah ngunduh mangga dari halaman Uni. Pohon mangganya relatif pendek daripada yang di Mango Avenue, jadi gampang mengambil buah, itung-itung rekreasi sambil nungguin istri … he ..he …! Karena kebanyakan rumah disini punya pohon mangga, salah satu cara mendapatkan mangga murah atau gratisan ya minta dari yang punya rumah. Apalagi kalau yang punya rumah kita kenal. Saking banyaknya mangga, biasanya mereka sudah pusing sendiri mengurus mangga yang berjatuhan. Salah satu teman si Benz malah ibunya alergi mangga, alhasil mangga di rumahnya tidak ada yang mengunduh .. dibiarkan jatuh.

Musim mangga bisa berarti panen pendapatan bagi beberapa orang. Pada musim ini perusahan mangga mencari pemetik mangga dan orang untuk mengepak dan mensortir mangga yang akan diekspor. Pekerjaan ini lumayan berat. Pemetik mangga dijamin pasti gosong, wong kerjanya di lapangan dan terjadi saat musim panas. Sementara pengepak dan penyortir mangga harus siap berdiri sekitar 8 jam setiap harinya. Banyak mahasiswa dan backpackers pada musim mangga ini nyambi kerja di perkebunan. Hasilnya lumayan, kalau bisa kerja cepat dan beruntung bisa sampai $100 per hari. Dulu suami pernah kerja sebagai pemetik mangga pada tahun 2001. Tahun-tahun berikutnya beliau absen, soalnya musim mangganya jatuh pas puasa. Tahun ini sebenarnya rejeki untuk mulai bekerja di musim mangga, soalnya musim mangga terjadi setelah bulan puasa lewat. Beberapa teman ada yang bekerja di tempat ini, tapi tidak suami saya. Musim mangga tahun ini menandai makin dekatnya kepulangan kami ke Indonesia. Jadi konsentrasi sekarang adalah membereskan rumah dan mengepak barang-barang. Beberapa hari yang lalu mobil kami sudah dijual dan kemarin kami telah mengadakan garage sale. Adinda telah mengadakan goodbye party dengan teman-temannya di Warrina ice Rink. Kurang dari satu bulan lagi kami akan meninggalkan tempat ini, rasa-rasanya kami akan kangen menikmati musim mangga di Australia.