Thursday, December 23, 2004

JADI MATURE STUDENT DI NEGERI KANGURU

Kemarin kita-kita para mahasiswa AusAID yang tugas belajarnya selesai, atau mendekati selesai, kumpul-kumpul dengan Liasion Officer, keluarga, supervisor dan teman-temin dekat dalam acara Completion Gathering. Ceritanya kita dikasih sertifikat dan dapat kesempatan ngeceng dengan graduation gown. Biarpun disertasi belum selesai tapi karena akhir Februari 2005 jatah tinggal di Australia sudah selesai, jadi kebagian deh saya berfoto-ria pakai jubah „kebesaran“ lulusan PhD dengan supervisorku yang urakan dan keluarga.



Tidak terasa hampir 4 tahun saya jadi mahasiswa di Australia. Di Australia, orang-orang yang menjadi mahasiswa kembali setelah meninggalkan bangku sekolah dan bekerja (usia lebih dari 25 tahun) disebut sebagai mature student. Umumnya mature student ini sudah berkeluarga dan dan sekolah kembali untuk perbaikan karir. Mereka bisa saja ikut pelajaran strata-1 lagi tapi kebanyakan menjadi post-grad atau mahasiswa S-2 atau S-3. Dibawah ini sedikit cerita pengalaman jadi mahasiswa mature penerima beasiswa.

Suasana ilmiah kental dengan penampilan urakan. Waktu pertama kali bertemu dengan supervisor saya, astaga naga ... kaget deh lihat penampilannya! Celana pendek, bajo kaos, sepatu sendal, rambut acak-acakan ... waduh .. tukang kebun di kantor dulu di Indonesia aja nggak segitu butut penampilannya. Tapi jangan salah, ini profesor kaliber dunia. Tulisan ilmiahnya di terbitkan oleh berbagai jurnal internasional dan proyek penelitiannya dibiayai oleh berbagai lembaga bergengsi di dunia. So, penampilan di Queensland ini nggak begitu penting. Di kampus saya, James Cook University, suasana ilmiah kental terasa. Banyak seminar-seminar diadakan di kampus ini. Kebanyakan, untuk ukuran Indonesia, suasananya sangat informal. Sudah biasa deh orang kasih presentasi atau menghadiri seminar pakai celana pendek. Di Indonesia, bisa-bisa dipelototin habis deh .... ukuran orang „pintar“ di kita kan masih yang kudu pakai jas dan dasi! Padahal, kalo dipikir-pikir, negeri kita puanas begitu kok ya pakai jas.

Sekolah lanjutan itu pengorbanan. Sebagai mature student yang sudah berkeluarga, sekolah itu penuh dengan pengorbanan. Bukan saja meninggalkan pekerjaan di tanah air, tapi juga seringkali harus meninggalkan keluarga dekat, ataupun kalau keluarga dibawa kudu harus punya tenggang rasa. Bawa keluarga lebih banyak manfaatnya untuk anak tapi tidak untuk pasangan. Biasanya yang paling susah kalau yang sekolah itu sang istri. Suami yang biasa sibuk di Indonesia kontan harus belajar alih fungsi jadi bapak rumah tangga. Alhadulillah deh, punya suami yang penuh pengertian. Soalnya kalau sudah dead-line bikin tulisan, boro-boro masak, ngurusin nganterin anak ke sekolah atau mikirin beresin rumah ….. mandi aja lupa! Belum lagi kalau penelitian lapang atau ikut seminar di luar kota harus ninggalin keluarga berhari-hari … wah .. kalau nggak punya pasangan yang ngertiin, nggak bakalan jalan deh urusan sekolah.

PIL & WIL. Ini dia yang paling dikhawatirkan kalau sekolah ke LN. Pasangan yang berpisah saat sekolah di luar negeri kemudian terlibat perselingkuhan dan cerai itu sudah cerita umum. Mulai dari yang kepincut supervisor sampai pasangannya datang ke kota tersebut untuk melabrak, atau yang digosipkan karena teman lain jenis datang dari kota lain kemudian menginap satu kamar di tempat kost atau yang konon menikah dibawah tangan padahal salah satunya punya istri di tanah air (konon lho). Toh kebersamaan juga bukan jaminan. Salah seorang kenalan saya yang suami dan istri sama-sama bersekolah di universitas sama, toh cerai juga.

Cari uang vs cari ilmu. Bukan rahasia lagi bahwa banyak mahasiswa postgraduate Indonesia - yang mungkin lebih dari 70% adalah penyandang beasiswa dan kebanyakan adalah kiriman dari instansi pemerintah – getol bekerja saat dikirim sekolah. Segala macam pekerjaan disabet. Mulai dari kirim koran dan junk mail, mengantar pizza, jadi tukang bersih-besih, menunggu toko, babu cuci di restoran, cuci mobil dan banyak lagi. Kadang-kadang bisa juga kerja yang lebih baik, misalnya jadi tutor di universitas tempat belajar.

Walaupun banyak yang berkilah bahwa pekerjaan ini untuk mencari pengalaman, tapi umumnya motivasi utama para pekerja ini biasanya cuma satu: UANG. Kilah kurang duit ini memang memacu semangat para mahasiswa untuk habis-habisan kerja walaupun siangnya sudah sibuk di uni. Sayangnya, seringkali kegiatan cari duit ini lebih heboh daripada kegiatan belajarnya sendiri. Para mahasiswa yang habis-habisan bekerja seringkali akhirnya melupakan tujuan utama datang ke Australia, belajar. Motivasinya bukan sekedar untuk nambah dana selama di Australia dan beli tiket pulang untuk keluarga (beasiswa dari ADS memberikan tunjngan keluarga tapi tidak memberikan tiket untuk keluarga) tapi untuk bawa dollar saat pulang ke Indonesia. Tahu saja, begitu pulang ke Indonesia duit kembali minim. Apalagi untuk beberapa instansi, misalnya departemen pendidikan, saat pulang cuma dapat separuh gaji pokok sampai 6 bulan setelah kembali. Kalau tidak punya tabungan mau makan apa begitu tiba di tanah air?

Akibat terlalu getol kerja, bisa jadi akhirnya nilai terlantar. Atau untuk para mahasiswa riset, risetnya mungkin selesai, tapi kegiatan tulis menulis kacau balau. Tak heran, seringkali terdengar cerita ada mahasiwa yang tidak beres menulis tesis dan akhirnya pulang tanpa seminar atau memasukkan tesis. Gatel rasanya mendengar orang berkilah „Saya kan dapat tugas belajar, bukan tugas dapat gelar“. Sayangnya orang tersebut lupa, tugas belajarnya pun tidak dikerjakan karena lebih banyak ngurusin tugas ngumpulin uang!

Jalan-jalan atau tidak?. Beberapa kenalan saya hanya tahu daerah di sekitar dia tinggal, supermarket, tempat kerja (kalau nyambi) dan universitas. Buat saya, sayang sekali kalau sudah dapat kesempatan ke luar negeri kemudian tidak dimanfaatkan untuk jalan-jalan. Bisa dibilang, keluarga kami memang termasuk getol jalan selama di Australia. Walaupun tidak sempat melihat salju (maklum tinggal di queensland utara yang tropis) tapi paling tidak kami sudah melihat kota-kota tujuan wisata seperti Brisbane, Sydney, Canberra, Melbourne; merasakan berkemah, masuk hutan, naik kapal untuk whale watching, masuk gua, lihat penguin, dan macam-macam lagi. Soalnya, kalau sudah pulang nanti tidak ada jaminan bisa kembali ke Australia dengan keluarga khusus untuk jalan-jalan. Kalaupun saya yang datang paling lah untuk seminar atau kegiatan ilmiah lainnya tanpa bisa membawa keluarga.

Acara jalan-jalan ini bukan saja untuk rekreasi tapi juga untuk belajar. Banyak sekali yang bisa ditarik dari pengalaman jalan-jalan ini. Misalnya, bagaimana Australia menata kota mereka, bagaimana turisme bisa berkembang dengan baik disana, bagaimana mereka menata lingkungannya sampai bagaimana budaya mereka, bisa dilihat dari jalan-jalan. Untuk para mahasiswa yang nantinya jadi birokrat terutama di pemerintahan, jalan-jalan lah dan bawa pengalaman itu untuk memperbaiki daerah mereka. Jangan nantinya menghamburkan uang rakyat untuk studi banding sembari antar istri (atau suami) belanja!

Kampung Indonesia. Gesekan-gesekan kecil dan besar merupakan dinamika sosial yang lumrah. Apalagi walaupun konon sama-sama orang Indonesia tapi latar belakang etnik dan agama bisa berbeda. Mahasiswa yang dulu biasa tinggal di kota besar, dimana mengutamakan privacy, menjadi gagap saat harus berinteraksi dengan orang lain dari kota kecil yang mungkin lebih komunal. Orang dari pulau Jawa jadi kikuk bicara dengan orang-orang dari bagian timur Indonesia terutama yang daerahnya jadi ajang perang etnis dan menyalahkan orang Jawa. Orang yang di daerahnya jadi bos seringkali susah meninggalkan kebanggaan pekerjaannya sehingga kalau berinteraksi masih bergaya bos juga padahal di luar negeri sama-sama jadi mahasiswa kere.

Waktu pertama kali datang, gagap juga berinteraksi dengan para mahasiswa yang sudah ada sebelumnya. Masalahnya waktu itu ada kubu-kubu agama dan etnik, warisan dari keributan Ambon, dimana satu sama lain bermusuhan dan menjelekkan satu kelompok lain. Baru disini saya mengerti kenapa Indonesia susah banget rukun. Lho orang-orang yang katanya intelektual kiriman dari pemerintah Indonesia sendiri malah ribut satu sama lain saat di luar negeri. Untungnya perlahan-lahan ada perbaikan juga dimana kelompok-kelompok mulai berinteraksi seiring dengan perbaikan kondisi di Indonesia dan usaha keras beberapa orang untuk melakukan komunikasi lintas kelompok. Walaupun demikian kuping sering merah juga mendengar satu dua ibu yang suka bisik-bisik (tapi keras) di pertemuan rutin bulanan untuk tidak makan masakan si A atau B karena dia agamanya lain!


0 Comments:

Post a Comment

<< Home